11 Tahun Berlalu, Yuk Peringati Kembali Hari Reformasi



Era Pasca Soeharto atau Masa Reformasi dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil Presiden BJ Habibie.



Krisis moneter yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia, terhadap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal ini menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organisasi mahasiswa yang melakukan aksi di berbagai wilayah Indonesia.

Nah, dalam rangka memperingati Hari Peringatan Reformasi Indonesia yang terjadi pada 21 Mei 1998, TimiKimi punya ulasannya mengenai kilas balik peristiwa yang terjadi pada hari tersebut. Simak yuk!
Kilas Balik Hari Peringatan Reformasi Mei 1998
1. Ketua DPR/MPR Harmoko Gelar Jumpa Pers Minta Presiden Soeharto Mundur



Hari Peringatan Reformasi ditandai dengan pada saat memasuki pertengahan 1997 krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Nilai rupiah anjlok terhadap dolar Amerika, yang berfluktuasi Rp12.000-Rp18.000 dari Rp2.200 pada awal tahun. Di tengah situasi ini, tim ekonomi Soeharto justru menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi rawan pangan dengan kampanye makan tiwul, yang disampaikannya melalui televisi. Namun Soeharto tetap penuh percaya diri, dan melakukan perjalanan ke luar negeri. Ia terbang ke Jerman untuk berobat.

Tanggal 18 Mei 1998, hari-hari menegangkan dimulai. Senin pagi itu, ratusan mahasiswa dan masyarakat datang ke DPR/MPR. Sebagian melilitkan pita merah di kepala. Mereka menyebut diri sebagai delegasi gerakan reformasi nasional. Tidak hanya ingin menyampaikan aspirasi, mereka datang untuk menduduki gedung DPR/MPR.

Langkah mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR diambil untuk mendesak DPR agar memanggil MPR menggelar Sidang Istimewa dengan agenda utama meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR. Siang harinya, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi wakil-wakilnya menggelar jumpa pers. Isi dari hasil jumpa pers, yaitu mencermati situasi terkini dan menyarankan Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Pimpinan Dewan dalam rapat tersebut telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat, menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi, termasuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden. Untuk membahas masalah tersebut, esok harinya pada 19 Mei 1998 pimpinan dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi, hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto. Mekanisme tersebut ditempuh sesuai peraturan tata-tertib Dewan karena dalam pengambilan keputusan pimpinan Dewan harus bersama-sama pimpinan fraksi-fraksi.

Dalam menanggapi situasi tersebut, pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan serta mewujudkan keamanan dan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional.

Sikap Harmoko ini berbeda jauh dengan puja-puji yang disampaikan saat Sidang Umum MPR Maret 1998, ketika dia mengatakan mayoritas rakyat masih menghendaki Soeharto melanjutkan jadi presiden. Malam itu, mahasiswa mulai menginap dan ribuan delegasi, termasuk tokoh masyarakat tidak henti berdatangan ke DPR/MPR menyampaikan aspirasi agar Soeharto lengser.


2. Presiden Soeharto Terbitkan Inpres yang Berikan Kewenangan Besar kepada Jenderal Wiranto





Kilas balik Hari Peringatan Reformasi berikutnya, pada tanggal 18 Mei, 21 tahun lalu, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 16 Tahun 1998, yang memberikan kewenangan kepada Panglima ABRI Wiranto untuk mengambil tindakan apapun sepanjang terkait dengan ketertiban dan keamanan. Inpres itu menunjuk Wiranto menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Kewaspadaan Nasional.

Di mata masyarakat Indonesia, surat itu bagaikan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang memberikan kekuasaan tidak terbatas kepada Soeharto sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban. Supersemar ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Soeharto menggunakan surat sakti itu untuk konsolidasi kekuasaan dan membangun rezim orde baru.

Komentar

Postingan Populer