Jadwal Ujian Nasional 2019 Dimajukan
Pemerintah memutuskan jadwal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2019 dimajukan pada Maret atau sebulan lebih maju dari tahun sebelumnya.
Jika tidak dimajukan, UN akan bersamaan dengan pelaksanaan puasa Ramadan. Sejumlah persiapan pun sudah dilakukan untuk mendukung kebijakan baru ini. Di antaranya membuat standard operating procedure (SOP) agar UN berjalan lancar. Rencananya UN 2019 dilaksanakan serentak pada bulan ketiga atau Maret. Sedangkan pada 2018 pelaksanaan UN pada April lalu. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghormati ibadah puasa Ramadan.
“Waktu pelaksanaan UN 2019 sedikit bergeser ke depan dibandingkan pada 2018. UN pada 2018 dimulai pada April, sedangkan UN pada 2019 dimulai pada Maret. Pergeseran ini karena menyesuaikan waktu puasa Ramadan yang diproyeksikan mulai 5 Mei 2019,” ungkap Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi kepada KORAN SINDO kemarin. Jadwal UN pertama kali akan berlangsung di jenjang SMK/MAK dan sederajat pada 25-28 Maret. Selanjutnya diikuti UN SMA/MA pada 1,2, 4, dan 8 April. Sedangkan UN Program Paket C/Ulya pada 12-16 April, dilanjutkan UN SMP/MTs pada 22-25 April. Pemerintah juga mengagendakan UN Program Paket B/Wustha pada 10-13 Mei.
Bambang menjelaskan bahwa tahun depan UN di jenjang sekolah menengah atas akan dijalankan dengan 100% berbasis komputer atau disebut ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Hal ini sesuai dengan hasil rapat koordinasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Target yang sama juga diterapkan pada MTS dan Paket B yang juga 100% UNBK. Sementara SMP ditargetkan 85% UNBK. “Untuk jenjang SMA/MA, SMK, dan Paket C ditargetkan 100% UNBK,” jelasnya. Bambang melanjutkan, BSNP juga telah meluncurkan prosedur operasional standar (POS) UN melalui surat edaran.
Dia menyampaikan bahwa POS UN dan USBN adalah ketentuan yang mengatur penyelenggaraan dan teknis pelaksanaan UN dan USBN 2019. Secara umum kebijakan USBN dan UN 2019 tidak jauh berbeda dengan kebijakan 2018. Perbedaan pada jadwal pelaksanaan dan proyeksi jumlah peserta. “Kebijakan USBN dan UN pada 2019 secara umum tidak jauh berbeda dengan kebijakan USBN danUNpada2018. Perbedaan ada pada proyeksi jumlah peserta dan jadwal ujian,” terangnya. Mengenai soal ujian untuk Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Bambang menjelaskan bahwa materinya berupa soal pilihan ganda (PG) sebanyak 90% dan soal uraian 10%.
Materi soal dari pusat sebanyak 20-25%. Sedangkan sisanya, yakni 75-80% soal USBN disusun oleh masing-masing guru di satuan pendidikan yang dikonsolidasikan oleh MGMP/ KKG/Forum Tutor/Pokja pondok pesantren salafiyah. Sedangkan soal UN 100% disiapkan oleh pusat. Semua soal dalam bentuk pilihan ganda, kecuali soal Matematika SMA/ MA, SMK/MAK, dan Paket C/Ulya yang terdiri atas pilihan ganda dan isian singkat. “Demikian juga soal yang berorientasi pada penalaran tingkat tinggi (HOTS), masih diterapkan dalam UN 2019,” ungkapnya. Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat, apabila tahun depan soal HOTS masih dipakai di ujian nasional, maka dikhawatirkan akan menjadi masalah besar.
Hal itu karena secara pedagogis sistem pendidikan yang digariskan di Indonesia hanya boleh menilai apa yang dipelajari dan dialami siswa dalam belajar. “Kalau siswa belum belajar dalam proses pembelajaran HOTS, dan kenyataannya demi kian, kita uji dengan soal tentang HOTS, kita melanggar prinsip pendidikan yang fundamental,” terangnya. Said mengatakan, pengambil kebijakan pendidikan seharusnya memahami prinsip pendidikan ini dan kenyataan di lapangan. Dia mengakui, kemampuan HOTS teramat penting. Namun, jika memang siswa akan diuji dengan HOTS, maka perbaiki dulu proses pembelajaran di seluruh sekolah.
Menurut dia, siswa memiliki hak untuk mendapatkan pembelajaran HOTS. Meski demikian, haruslah ada perlindungan hukum agar siswa tidak selalu jadi objek kebijakan yang tidak berdasarkan prinsip pendidikan. “Tegakkanlah kebijakan pendidikan berdasarkan prinsip pendidikan, cegahlah peserta didik sebagai korban kebijakan yang tidak edukatif,” saran Said.
Komentar