Selamat Hari Sumpah Pemuda


 Momentum Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tahunnya (28 Oktober) serasa laiknya menengok kembali peranan pemuda di republik ini yang begitu masyhur. Tak dinyana, jika Indonesianis sekaliber Benedict Anderson yang begitu terpukau dengan kehebatan para pemuda, tidak sungkan menahbiskan revolusi Indonesia pasca-kemerdekaan sebagai "Revolusi Pemuda".

Pemuda mempunyai tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia. Sepertinya tidak ada peristiwa penting di negeri ini yang tidak melibatkan pemuda, mulai dari pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi Agustus 1945, sampai mundurnya Soeharto sebagai presiden pada Mei 1998. Mereka hadir sebagai kekuatan yang berjasa menyelamatkan negeri dari marabahaya dan mengantar masyarakat ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. 

Narasi seperti ini biasa menguat di masa krisis, ketika kekuatan-kekuatan sosial lain seperti buruh dan petani atau borjuis dan kelas menengah tidak mampu mengendalikan keadaan. Gagasan "potong generasi" yang intinya menuntut kekuasaan diserahkan kepada kaum muda adalah salah satu bentuk paling mutakhir. Klaim itu tentu saja mengandung kebenaran. Dalam semua peristiwa politik yang disebutkan di atas, peran pemuda memang sangat menonjol, jauh melampau kekuatan-kekuatan sosial lain, apalagi partai politik. 

Namun, orang kerap lupa bahwa keadaan itu tidak selalu direncanakan. Tidak semua pemuda ingin memenuhi "panggilan sejarah". Keterlibatan dalam politik atau perjuangan, bukan karena ada kualitas tertentu yang inheren dalam diri setiap pemuda, tapi karena situasi tertentu. Bobot dan peranan yang sering melekat pada kata "pemuda"-misalnya, "pemuda harapan bangsa"-itu diberikan oleh pihak lain dan belum tentu meresap dalam kesadaran para pemuda sendiri (Farid, 2011: 73).

Tidak semua orang berusia muda mengidentifikasi diri sebagai "pemuda" atau senang disebut "pemuda", justru karena atribut moral dan politik yang melekat padanya. Mereka mungkin lebih nyaman dengan sebutan netral seperti "anak muda", karena istilah ini bebas dari campur tangan otoritas di luar mereka. Dengan kata lain, istilah seperti "anak muda" lebih memberi agency kepada yang bersangkutan tinimbang "pemuda" yang makna dan tempatnya ditentukan oleh pihak lain. 

Dalam perjalanan sejarah, kita berulang kali melihat bagaimana orang berusia muda meronta dan berontak terhadap intervensi itu. Justru pemberontakan inilah, setidaknya dalam beberapa kasus, menjadi tanda bahwa mereka hidup secara politik. Jauh lebih hidup daripada kalau mereka memenuhi panggilan sejarah sekadar menjadi "pemuda harapan bangsa".

Masalahnya, pembentukan ideologi di kalangan anak muda itu kerap dinafikan. Sejarah memotret pemuda sebagai orang yang senantiasa berjuang tanpa pamrih untuk kepentingan bangsa. Sesuatu yang sangat abstrak. Padahal, senyatanya pembentukan ideologi pemuda sangat konkret sekaligus kompleks. 

Menurut Ivan Aulia Ahsan (2011), persoalan yang terus-menerus melanda pemuda Indonesia hingga detik ini ialah bagaimana mereka menempatkan diri dalam dunia yang didominasi oleh "kelompok orang tua". Hal ihwal ini selalu memunculkan dikotomi dalam terminologi sejarah dan politik Indonesia, lewat istilah "golongan kamitua" dan "golongan muda". "Kesenjangan generasi" (generation gap) yang berlangsung di antara mereka, yakni tatkala kaum kamitua tak mampu lagi mengakomodasi keinginan dan aspirasi kaum muda. Kaum kamitua sangat berhasrat memaksakan keinginannya kepada kaum muda, sesuai dengan idealisasi mereka sendiri, sehingga yang muncul adalah kooptasi kaum kamitua terhadap kaum muda.

Aria Wiratma Yudhistira misalnya, dalam bukunya Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (Marjin Kiri, 2017) meneroka bahwa pada masa awal konsolidasi kekuasaan Orde Baru (Orba), pemerintah hendak "membentuk" anak-anak muda Indonesia. Saat itu, rezim Orba mengeluarkan sebuah kebijakan "konyol" yang melarang anggota masyarakat, terutama anak-anak muda, menggondrongkan (memanjangkan) rambut. Melalui lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pemerintah memerangi anak muda berambut gondrong lewat serangkaian operasi besar-besaran berskala nasional.

Menurut penguasa, rambut gondrong adalah simbol selera kebarat-baratan yang tidak cocok dengan gaya hidup dan "adat" ketimuran. Penilaian demikian segera menyulut kontroversi di kalangan anak muda. Pemerintah dianggap terlalu mencampuri wilayah pribadi masyarakat dan menunjukkan bahwa Orba mulai paranoid terhadap rakyatnya sendiri. Hal ihwal ini merupakan gejala awal yang menjadi titimangsa watak otoriterianisme Orba. 

Kasus ini menunjukkan bagaimana kecemasan orang tua saat itu terhadap perilaku anak muda yang dinilai telah melanggar dan melampaui "batas-batas" budaya ketimuran. Bagi orang tua, sikap seperti itu bisa membuat anak muda semakin apatis terhadap proses pembangunan bangsa yang saat itu tengah digencarkan pemerintah Orba. Lebih jauh dari itu, menurut para orang tua, semangat kebangsaan mereka perlahan namun pasti akan luntur. Kegalauan demikian, sebagaimana ditunjukkan Aria, sebenarnya refleksi dari ungkapan "buruk rupa cermin dibelah". Apa yang dikhawatirkan oleh orang tua sesungguhnya mewakili "wajah buruk" mereka sendiri: wajah bopeng dan tua yang tengah dirongrong sejumlah kemerosotan. 

Di sisi lain, reaksi dan kecemasan orang tua ini dinilai berlebihan. Anak-anak muda meyakini bahwa apa yang dilakukan masih dalam batas kewajaran. Masalahnya, bukan lagi pada soal apakah para pemuda "melanggar" budaya ketimuran atau tidak, melainkan sejauh mana para orang tua bisa memafhumi perilaku anak-anak muda dalam konteks zaman yang sudah berubah. Orang tua sebenarnya didera oleh kecemasan yang mereka ciptakan sendiri. 

Pemerintahan Soeharto juga tak pernah berhenti "mengideologisasi" anak muda sesuai dengan selera kekuasaan. Potongan kalimat (baca: nasihat) "pemuda harapan bangsa" yang digembar-gemborkan rezim tiranik itu adalah salah satu contoh bagaimana anak (muda) diidealisasikan dan diberi tugas mahaberat sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Karena itu, anak-anak muda harus dikontrol dan dibina, agar tidak melenceng dari apa yang dikehendaki orang tua. 

Menurut para orang tua, anak-anak muda masa itu perlu meneladani generasi muda sebelumnya -biasanya yang dirujuk Angkatan 1945 -yang tiada lain adalah generasi mereka sendiri. Generasi 45 diidealisasikan sebagai generasi pejuang nan patriotik tanpa pamrih dengan semangat 45 sebagai suluhnya. Romantisasi semacam itulah yang hendak mereka terapkan untuk anak-anak muda masa Orba. Generasi muda diharapkan bisa melanjutkan estafet generasi sebelumnya yang berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan mengisi pembangunan bangsa di alam kemerdekaan (Yudhistira, 2017).

Arkian, masalah ini menyisakan problematika tersendiri bagi anak-anak muda. Bukankah ada jarak waktu antara generasi kamitua dan generasi muda? Generasi muda punya cara sendiri untuk menghadapi zaman yang tentu saja sangat berbeda dengan zaman generasi tua. Orang tua mungkin lupa, bahwa selalu ada zeitgeist(jiwa zaman) yang membentuk karakter setiap generasi. 

Komentar

Postingan Populer